Sabtu, 12 April 2008

Teori Pendidikan

Pemikiran John Dewey

  1. Pengalaman dan Pertumbuhan

    Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.

    Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.

    Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.

    Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.

  2. Tujuan Pendidikan

Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.

Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.

Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.

Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.

Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.

Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.

Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.

Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.

Pemikiran William James

William James adalah seorang yang individualis. Didalam bukunya Talks to Teacher tidak terdapat pernyataan mengenai pendidikan sebagai fungsi sisal. Baginya pendidikan lebih cenderung kepada “ organisasi yang ketertarikan mendalam terhadap tingkah laku dan ketertarikan akan kebiasaan dalam tingkah laku dan aksi yang menempatkan individual pada linkungannya”. Teori perkembangan diartikannya sebagai susunan dasar dari pengalaman mental untuk bertahan hidup. Pemikirannya ini dipengaruhi oleh insting dan pengalamannya mempelajari psikologi hewan dan doktrin teori evolusi biologi.

Ketertarikan James akan insting dan pemberian tempat untuk itu dalam pendidikan, menjadikan para pembaca bukunya peraya akan salah satu tujuan terpenting didalam pendidkan adalah memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk mengikuti instingnya. Yang nantinya akan menjadi peribahasa teori pendidikan. “ Bekerjasamalah dengan insting, jangan melawannya”. Pembaca yang lebih teliti dapat menemukan tulisan yang lebih menguatkan akan hal ini, tapi ketidak raguannya ditunjukkannya melalui pernyataan-pernyataannya bahwa persatuan para psikolog telah salah mengenali kekuatan insting didalam kehidupan manusia.

Teori James akan insting sangatlah bersifat individualis dan sangatlah kolot pada pelaksanaannya. Mengesampingkan pernyataannya mengenai perubahan insting, yang berlawanan dengan diskusinya pada “Iron Law of Habit/Hukum Utama Kebiasaan” dan keprcayaannya akan tujuan dasar pendidikan sebagai pengembangan awal kebiasaan individual dan kelompok, dalam pembentukan masyarakat yang lebih sempurna.

Singkatnya, James menegaskan, dasar dari semua pendidikan adalah mengumpulkan semua insting asli yang dikenal oleh anak-anak, dan tujuan pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan seagai bagian dari diri untuk menjadikan pribadi yang lebih baik.

Pemikiran Thorndike

Dan dia menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in Animal”. Buku ini yang merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung.yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak laian sebenaranya adalah asosiasi, suatu stimulum akan menimbulkan suatu respon tertentu.

Teori ini disebutdengan teori S-R. dalam teori S-R di katakana bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar dengan cara coba salah (Trial end error). Kalau organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah , maka pada saat menghadai masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus di keleluarkan nya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Seekor kucing misalnya, yang di masukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar dan sebagainya sampai suatu saat secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka. Sejak itu, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandag yang sama.
Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di amerika serikat di dominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dlam rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.

Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.

Ciri-ciri belajar dengan trial and error :

  1. Ada motif pendorong aktivitas

  2. ada berbagai respon terhadap situasi

  3. ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah

  4. ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

Pemikiran Rousseau

J.J. Rousseau, seorang filsuf Prancis, mengeluarkan statemen dalam bukunya Contract Social yang terkenal dengan ilmu kenegaraannya. “Manusia terlahir bebas, tetapi ada belenggu-belenggu yang mengikat manusia tersebut”. Hal ini dimaksudkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh manusia tidak pernah mutlak. Selalu akan terbentur dengan kebebasan individu lain. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kesepakatan agar tiap benturan kebebasan itu tidak menimbulkan konflik bahkan penghilangan kebebasan manusia lain. Kontrak itulah yang kemudian menjunjung tinggi adanya kedaulatan rakyat, pengutamaan suara mayoritas. Terkesan bahwa rakyat akan memiliki jaminan atas kebebasan mereka, tetapi kelemahan dari teori Rousseau ini adalah, yang ia tekankan adalah mayoritas, maka dimanakah suara bagi minoritas?


Kekejaman Rousseau sebagai pemikir kemudian menguat pada novelnya yakni Emile yang semakin memperkuat kata manusia hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan tidak diakuinya sebagai manusia yang utuh. Perempuan adalah submanusia. Rousseau ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak mungkin berada dalam lingkup akademis yang logis dan kritis. Sebaliknya, untuk dapat mengikuti kehidupan laki-laki, perempuan haruslah mendapatkan pendidikan yang membekali mereka sebagai calon istri yang baik. Alasan di balik pembedaan pendidikan ini adalah, perempuan memiliki sifat emosional yang lebih kompleks dibandingkan laki-laki. Pendidikan tersebut misalnya mengenai musik, sastra, dan keterampilan rumah. Dengan belajar hal-hal yang semacam itu, perempuan diharapkan mampu mengimbangi pola hidup laki-laki yang penuh dengan pemikiran. Pendidikan untuk laki-laki sendiri mencakupi bidang politik, hukum, filsafat, ekonomi, dan pendidikan formal lainnya. Jelas novel ini sangat misoginis karena menunjukkan bahwa perempuan takkan mampu mengikuti pola pendidikan laki-laki. Perempuan tidak dianggap sebagai manusia, ia dianggap sebagai submanusia. Akibat dari novel ini adalah, dalam masyarakat, semakin diyakini bahwa memang pendidikan untuk perempuan harus dibedakan dari pendidikan laki-laki. Perempuan hanya pantas dididik sebagai calon ibu rumah tangga yang baik, untuk mengimbangi suaminya nanti.


Muncullah kritik dari seorang feminis bernama Mary Wollstonescraft dalam bukunya Vindication of The Rights of Women (1789). Jika dikatakan bahwa perempuan harus dapat mengimbangi laki-laki dalam kehidupan, perempuan pun haruslah mengerti bidang-bidang yang dipelajari juga oleh laki-laki. Bagaimana mungkin perempuan dikatakan mengimbangi kalau ia tidak mengerti sama sekali pembicaraan yang dilakukan oleh laki-laki. Justru perempuan akan semakin mengalami penekanan karena ketidakpahamannya itu. Kondisi yang akan terjadi adalah, ketika suami pulang dari bekerja, lalu ia mengeluh mengenai keadaan di tempatnya bekerja termasuk mengenai isu yang sedang terjadi di masyarakat, si istri hanya dapat menjadi pendengar. Istri tidak akan berani memberikan pendapatnya karena tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Walaupun ia berpendapat, suami tidak akan menanggapi karena menganggap bahwa istrinya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Istri pun mengalami subordinasi. Oleh karena itu, Wollstonescraft mengkritik pembedaan pendidikan oleh Rousseau dan mengatakan bahwa, sebagai manusia, perempuan pun berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki agar dapat berpartisipasi dalam ruang publik.


Lebih lanjut lagi, dalam bukunya ini, Wollstonecraft mengajak perempuan-perempuan yang telah terbiasa hidup dalam sangkar emas untuk keluar dan mulai berdaya. Sangkar emas ini merupakan simbol dari keterlenaan perempuan yang mau diberi segala kemudahan dalam kehidupan, tetapi implikasi dari kemudahan itu adalah pengambil-alihan statusnya sebagai manusia bebas. Perempuan tidak mendapatkan haknya sebagai manusia, antara lain hak milik, hak pilih bahkan terkesan, hak hidupnya pun sudah dibatasi. Perempuan menjadi tergantung pada laki-laki (pada ayah ataupun pada suami). Jangan-jangan untuk bernafas pun perempuan harus menunggu aba-aba dari laki-laki. Masalah semacam ini semakin mengakar kuat dan memperburuk keadaan perempuan, karena sangkar emas membuat perempuan tidak ingin keluar dari kesemuan itu. Pola ini kemudian akan diturunkan ke anak-anak perempuannya sehingga muncul impian ingin mencari sangkar emas-sangkar emas baru, karena hanya pola hidup semacam inilah yang dimengerti oleh perempuan.


Perempuan yang hidup terlena dalam sangkar emasnya tidak menyadari bahwa problem-problem kehidupannya justru semakin terkubur oleh problem keluarganya. Identitasnya terkubur oleh identitas yang lebih kuat, dalam hal ini adalah identitas laki-laki yang menguasai kehidupannya. Akhirnya masalah yang dialami perempuan menjadi lebih kompleks, karena permasalahan yang dialaminya tidak dikenali oleh lingkungan sekitarnya. Perempuan akan dianggap hanya mengalami depresi atau stres pada umumnya. Permasalahan ini oleh Betty Friedan disebut sebagai The problem that has no name. Dan masalah inilah yang dialami oleh kebanyakan perempuan terutama dalam rumah tangganya sebagai akibat dari hak mereka sebagai manusia dibatasi. Bahkan mengeluh pun mereka harus menyadari posisi mereka.


Jika perempuan dibiarkan diam terus-menerus, akan semakin memperkeruh air masalah yang dialaminya. Tetapi untuk bisa menjernihkan kehidupan perempuan, dibutuhkan pengakuan akan hak-hak hidup perempuan. Perjuangan para feminis liberal inilah yang ingin mengeluarkan perempuan dari sangkar emas yang mengukung mereka. Hasilnya adalah, pengakuan akan hak milik, hak pilih bagi perempuan. Ini bukan perjuangan yang mudah, mengingat keterlenaan perempuan telah mengakar sejak lama. Tetapi bukan berarti sebuah teori tidak memiliki kelemahan. Ketika kita hanya fokus pada hak individu, yang bersifat eksternal, maka kita akan terbutakan oleh hal-hal yang lebih inti dari penderitaan perempuan. Seperti kenapa perempuan tidak dapat mengikuti alur pemikiran laki-laki, karena ada perbedaan pengertian bahasa. Atau seperti tradisi yang tidak dapat dibongkar, padahal tradisi tersebut secara jelas telah membiarkan laki-laki tetap mengopresi perempuan. Lalu, apakah hanya sekedar hak pilih maupun kemandirian ekonomi yang harus dicapai perempuan? Bukankah sudah saatnya memutus rantai kekerasan tersebut dalam segala hal, termasuk dalam memutuskan tradisi kekerasan tersebut?

Tidak ada komentar: